
Makalah Ekonomi Islam
FAKULTAS SYARIAH
PRODI AHWAL AS-SYAKHSIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM TRIBAKTI (IAIT) KEDIRI
2017
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam literatur Islam,
sangat jarang ditemukan tulisan tentang sejarah pemikiran ekonomi Islam atau
sejarah ekonomi Islam. Buku-buku sejarah Islam atau sejarah peradaban Islam
sekalipun tidak menyentuh sejarah pemikiran ekonomi Islam klasik. Buku-buku
sejarah Islam lebih dominan bermuatan sejarah politik.
Kajian yang khusus
tentang sejarah pemikiran ekonomi Islam adalah tulisan Muhammad Nejatullah
Ash-Shiddiqi yang berjudul Muslim
Economic Thinking, A Survey of Contemporary Literature dan Artikelnya
berjudul History of Islamic Economics Thought . Buku dan artikel
tersebut ditulis pada tahun 1976. Paparannya tentang studi historis ini lebih
banyak bersifat diskriptif. Ia belum melakukan analisa kritik, khususnya
terhadap “kejahatan” intelektual yang dilakukan ilmuwan Barat yang
menyembunyikan peranan ilmuan Islam dalam mengembangkan pemikiran ekonomi,
sehingga kontribusi pemikiran ekonomi Islam tidak begitu terlihat pengaruhnya
terhadap ekonomi modern.
Menurut Muhammad
Nejatullah Ash-Shiddiqy pemikiran ekonomi Islam adalah respons para pemikir
muslim terhadap tantangan-tantangan ekonomi pada masa mereka. Pemikiran ekonomi
Islam tersebut diilhami dan dipandu oleh ajaran Al-Quran dan Sunnah juga oleh
ijtihad (pemikiran) dan pengalaman empiris mereka.
Pemikiran adalah sebuah
proses kemanusiaan, namun ajaran Al-quran dan sunnah bukanlah pemikiran
manusia. Yang menjadi objek kajian dalam pemikiran ekonomi Islam bukanlah
ajaran Al-quran dan sunnah tentang ekonomi tetapi pemikiran para ilmuwan Islam
tentang ekonomi dalam sejarah atau bagaimana mereka memahami ajaran Al-quran
dan Sunnah tentang ekonomi. Obyek
pemikiran ekonomi Islam juga mencakup bagaimana sejarah ekonomi Islam yang
terjadi dalam praktek historis. Dengan demikian, tulisan ini hanya fokus kepada
kajian historis, yakni bagaimana usaha manusia dalam menginterpretasi dan
mengaplikasikan ajaran Alquran pada waktu dan tempat tertentu dan bagaimana
orang-orang dahulu mencoba memahami dan mengamati kegiatan ekonomi juga
menganalisa kebijakan-kebijakan ekonomi yang terjadi pada masanya.Jadi, cakupan
sejarah pemikiran ekonomi Islam dalam tulisan ini ialahmenguraikan secara
singkat mata rantai sejarah Pemikiran ekonomi islam sehingga tidak terjadi
distorsi sejarah secara sepihak.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Perkembangan Pemikiran Ekonomi Islam
Perkembangan Pemikiran
Ekonomi Islam dapat di bagi dalam tiga fase utama, yaitu :
Fase pertama, pemikiran-pemikiran ekonomi Islam baru pada tahap meletakkan dasar-dasar
ekonomi Islam, dimulai sejak awal Islam hingga pertengahan abad ke-5 H/ 7-11
Masehi. Pada tahap ini pemikiran-pemikiran ekonomi Islam pada umumnya bukanlah
dibahas oleh para ahli ekonomi, melainkan dirintis fuqaha, sufi, teolog, dan
filsuf Muslim. Pemikiran ekonomi Islam pada tahap ini banyak ditemukan dalam
kitab-kitab turats (peninggalan ulama).
Dari turats itulah para intelektual Muslim maupun non-Muslim melakukan
kajian, penelitian, analisis, dan kodifikasi pemikiran-pemikiran ekonomi Islam
yang pernah ada atau dikaji pada masa itu. Pemikiran-pemikiran ekonomi yang
terdapat dalam kitab tafsir, fiqih, tasawuf dan lainnya, adalah produk ijtihad
sekaligus interpretasi mereka terhadap sumber Islam saat dihadapkan pada berbagai
kegiatan-kegiatan ekonomi dan persoalan-persoalan ekonomi yang dihadapi masa
itu.
Berikut beberapa
pemikir ekonomi Islam pada fase pertama :
1. Zaid bin Ali
Zaid bin Ali
berpandangan bahwa penjualan suatu barang secara kredit dengan harga yang lebih
tinggi dari pada harga tunai merupakan salah satu bentuk transaksi yang sah,
selama transaksi kredit tersebut di dasari oleh ‘aqd, atau prinsip saling ridho
antar kedua belah pihak. Laba dari perkreditan adalah murni dari bagian
perniagaan dan tidak termasuk riba. Keuntungan yang diperoleh pedagang yang
menjual secara kredit merupakan suatu bentuk kompensasi atas kemudahan yang
diperoleh seseorang dalam membeli suatu barang. Meskipun demikian, penjualan
secara kredit tidak serta merta mengindikasikan bahwa harga lebih tinggi selalu
berkaitan dengan jangka waktu, melainkan menjual secara kredit dapat pula
ditetapkan dengan harga rendah, sehingga lebih mempermudah dan menambah
kepuasan konsumen.
2. Abu Hanifah
Abu Hanifah meragukan keabsahan bai’-s-salam,
karena transaksi tersebut dapat mengarah pada perselisihan. Ia mencoba
menghilangkan perselisihan tersebut dengan merinci lebih khusus tentang apa
yang harus di ketahui dan dinyatakan dengan jelas dalam akad. Ia menyatakan
bahwa komoditi yang dijual harus tersedia dalam pasar selama waktu kontrak dan
tanggal pengiriman yang telah disetujui.
Disamping itu Abu
hanifah sangat memperhatikan orang-orang yang lemah. Ia tidak membebaskan wajib
zakat pada perhiasan, sebaliknya ia membebaskan zakat bagi para pemilik harta
yang terlilit hutang yang tidak sanggup untuk menebusnya. Ia juga tidak
memperkenankan muzara’ah dalam kasus tanah yang tidak berpenghasilan apapun.
Hal ini dilakukan untuk melindungi para penggarap tanah yang umumnya adalah
orang orang yang lemah.
3. Abu Yusuf
Tema pemikiran yang
diambil oleh Abu Yusuf lebih ditekankan pada tanggung jawab penguasa. Ia lebih
cenderung negara menyetujui jika negara mengambil bagian dari hasil pertanian,
dari pada menarik sewa dari lahan pertanian. Dalam hal pajak ia telah
meletakkan prinsip-prinsip yang jelas, yang pada kemuidian hari disebut dengan canons
of taxation. Prinsip-prinsipnya
adalah kesanggupan membayar, pemberian
waktu yang longgar kepada pembayar pajak dan sentralisasi pembuatan keputusan
adalah hal-hal yang ditetapkannya.
Ia menentang penguasa
yang menetapkan harga. Ia berargumen bahwa hasil panen yang melimpah bukanlah
alasan untuk merendahkan harga komoditi, dan sebaliknya kelangkaan komoditi
tidak selalu mengakibatkan harga melambung tinggi. Pendapat ini didasarkannya
pada observasi pasar pada saat itu. Namun sesungguhnya ia juga tidak menolak
peranan pemerintah dalam penawaran dan penentuan harga.
Fase kedua, fase ini berlangsung dari abad 11- 15 M. Fese kedua
ini disebut sebagai fase cemerlang dikarenakan peninggalan warisan intelektual
yang sangat kaya. Pada masa ini para fuqaha, sufi, filsuf, dan teolog, mulai
menyusun bagaimana seharusnya umat Islam melaksanakan berbagai aktivitas
ekonomi. Tidak hanya merujuk pada Al-Quran dan Hadist, tapi juga mulai
mengemukakan pendapat-pendapatnya sendiri. Pemikiran tentang ekonomi pada masa
ini diawali oleh Al-Ghazali.
Tokoh-tokoh pemikir
Ekonomi Islam dalam fase ini antara lain sebagai berikut:
1. Al-Ghazali
Menurutnya, seseorang
harus memenuhi seluruh kebutuhan hidupnya dalam rangka beribadah kepada Allah
SWT. Seluruh aktivitas sehari-hari termasuk aktivitas dalam bidang ekonomi,
harus dilaksanakan sesuai dengan syari’ah Islam. Ghazali bisa menoleransi pengambilan pajak
jika pengeluaran untuk pertahanan dan lain sebagainya tidak dapat tercukupi
oleh kas pemerintah. Ia juga mengemukakan tentang pelarangan riba, karena hal
tersebut melanggar sifat dan fungsi uang, serta mengutuk mereka yang melakukan
penimbunan uang dengan alasan uang itu sendiri dibuat untuk memudahkan
pertukaran. Secara garis besar, ekonomi dapat dikelompokkan menjadi :
pertukaran dan evolusi pasar, produksi, barter, evolusi uang serta peranan
negara dan keuangan publik.
2. Ibnu Taimiyah
Ibnu Taimiyah membahas
masalah perekonomian ditinjau dari segi sosial maupum hukum fiqh. Beliau telah
membahas pentingnya persaingan dalam pasar bebas, peranan market supervisor dan
lingkup dari negara. Dalam transaksi ia juga mensayaratkan kesepakatan antara
semua pihak, kesepakatann ini harus berdasarkan informasai yang akurat dan
memadai. Hal ini ditujukan agar transaksi menjadi lebih bermakna. Moralitas
yang diperintahkan agama diharuskan tanpa adanya paksaan sedikitpun. Sehingga dengan demikian syari’at bisa
berjalan sesuai dengan maksud dan tujuannya. Negara harus mempraktekkan aturan
perekonomian yang Islami hingga para pelaku ekonomi melakukan
transaksi-transaksi mereka dengan jujur dan ridho satu sama lain. Negara juga
harus mengawasi pasar dari tindakan-tindakan merugikan yang memanfaatkan
kelemahan pasar.
3. Ibnu Khaldun
Ibnu Khaldun menekankan
sistem pasar yang bebas, ia bahkan menentang intervensi negara terhadap masalah
ekonomi dan percaya akan sistem pasar yang bebas. Ia juga membahas pertumbuhan
dan penurunan ekonomi dapat saja berbeda antara satu negara dengan negara lain.
Perkembangan dan penurunan ekonomi dapat terjadi dengan faktor utama yaitu
pemasukan dan pengeluaran negara yang kadang berimbang, dan kadangkala berat
sebelah antara keduanya.
Ibnu Khaldun
mengungkapkan analisisnya tentang perdagangan internasional dan hubungan
internasional, bahwa adanya hubungan antara perbedaan tingkat harga antar
negara dengan ketersediaan faktor produksi, sebagaimana dalam teori perdagangan
modern. Penduduk merupakan faktor utama pendorong perdagangan dan perekonomian
internasional. Jika jumlah penduduk besar maka akan terjadi pemerataan tenaga
kerja sesuai dengan keahlian masing-masing, sehingga dapat mengakibatkan
meningkatnya surplus dan perdagangan internasional. Pembagian tenaga kerja
internasional akan lebih bergantung pada keahlian masing-masing individu dari
pada natural endowment.
Emas memiliki nilai dan
fungsi yang amat penting dalam perekonomian, sebagaimana ia nyatakan “Tuhan
telah menciptakan uang logam mulia, emas, perak, yang dapat digunakan oleh
manusia untuk mengukur nilai dari suatu komoditas” . Tetapi Ibnu Kholdun juga
memperkenankan mata uang kertas, dengan syarat pemerintah wajib menjaga
stabilitas nilainya
Fase ketiga, disebut juga stagnasi, Fase ini
dimulai pada tahun 1446 M hingga 1932 M. Salah satu penyebab kemerosotan
pemikiran ekonomi Islam pada waktu itu adalah asumsi yang mengatakan bahwa
telah tertutupnya pintu Ijtihad. Namun demikian masih terdapat gerakan
pembaharu selama dua abad terakhir yang menyeru untuk kembali kepada Al-Qur’an
dan Hadist. Para pemikir yang terkemuka pada fase ini antara lain adalah :
1. Muhammad Iqbal
Pemikirannya tentang
ekonomi Islam lebih terfokus pada konsep-konsep umum yang mendasar. Ia
menganalisis dengan tajam kelemahan kapitalisme dan komunisme,
kemudian ia menampilkan suatu pemikiran yang mengambil “jalan tengah” yang
sebenarnya telah dibuka oleh Islam. Muhammdad Iqbal sangat memerhatikan aspek
sosial masyarakat, ia menyatakan bahwa keadilan sosial masyarakat adalah tugas
besar yang harus di emban suatu negara. Zakat dianggap mempunyai posisi yang
stategis untuk mewujudkan keadilan sosial disamping zakat juga merupakan kewajiban
dalam Islam.
2. Shah Waliyullah
Menurutnya manusia
secara alamiah adalah makhluk sosial, sehingga harus bekerja sama antara satu
dengan yang lainnya. Kejasama ini juga berlaku pada bidang perekonomian seperti
pertukaran barang dan jasa, mudharabah, musyarakah, kerjasama pengolahan
pertanian dan lain-lain. Dia juga melarang hal-hal yang dapat merusak semangat
kejasama sebagaimana Islam melarangnya, seperti perjudian dan riba. Ia
menekanan perlunya pembagian faktor-faktor alamiyah secara merata, semisal
tanah.
Untuk pengelolaan
negara diperlukan adanya suatu pemerintahan yang mampu menyediakan sarana
pertahanan, membuat hukum serta mempertahankannya, menjamin keadilan, serta
menyediakan sarana publik. Untuk memenuhi semua ini negara membutuhkan income,
salah satu income negara adalah pajak, namun pajak juga harus memperhatikan
pemanfaatan serta kemampuan masyarakat membayarnya.
B. Pemikiran Ekonomi Islam
Mazhab Baqir as-Sadr
Cendekiawan yang
menjadi pioneer dari mazhab ini adalah Baqir As-Sadr dengan bukunya Iqtishaduna
(Ekonomi Kita) dan Ali Shariati. Menurut pendapat mazhab Baqir As-Sadr
bahwa terdapat perbedaan yang mendasar antara ilmu ekonomi dengan islam,
keduanya merupakan sesuatu yang berbeda sekali. Ilmu ekonomi adalah ilmu
ekonomi sedangkan islam adalah islam, tidak ada yang disebut ekonomi islam.
Menurut mereka islam tidak mengenal konsep sumber daya ekonomi yang terbatas,
sebab alam semesta ini maha luas. Sehingga jika manusia bisa memanfaatkannya
niscaya tidak akan pernah habis.
Menurut mazhab ini bahwa ekonomi Islam
merupakan suatu istilah yang kurang tepat sebab ada ketidaksesuaian antara
definisi ilmu ekonomi dengan ideologi Islam. Ada kesenjangan secara
terminologis antara pengertian ekonomi dalam perspektif ekonomi konvensional
dengan pengertian ekonomi dalam perspektif syariah Islam, sehingga perlu
dirumuskan ekonomi Islam dalam konteks syariah Islam. Pandangan ini didasarkan
pada pengertian dari Ilmu ekonomi yang menyatakan bahwa masalah ekonomi timbul
karena adanya masalah kelangkaan sumber daya ekonomi (scarcity)
dibandingkan dengan kebutuhan manusia yang sifatnya tidak terbatas. Dalam hal
ini mazhab Baqir As-Sadr menolak pengertian tersebut sebab dalam Islam telah
ditegaskan bahwa Allah SWT telah menciptakan makhluk di dunia ini termasuk
manusia dalam kecukupan sumber daya ekonomi.
Dalam perspektif
ekonomi Islam bahwa perilaku ekonomi harus didasarkan pada kebutuhan (need)
yang disandarkan pada nilai-nilai syariah Islam. Sebagai seorang muslim tidak
diperbolehkan untuk selalu mengikuti setiap keinginan hawa nafsu, karena bisa
jadi keinginan itu justru akan menimbulkan bencana bagi kehidupan diri dan
lingkungan sekitarnya. Demikian juga dalam aktivitas ekonomi bahwa setiap
tindakan yang dilakukan oleh seorang muslim harus disandarkan pada syariah
Islam baik dalam aktivitas konsumsi, produksi maupun distribusi.
Moral ekonomi Islam
yang didasarkan pada pengendalian hawa nafsu akan menjamin keberlangsungan (sustainability)
kehidupan dan sumber daya ekonomi di dunia ini. Alokasi sumber daya ekonomi
akan diarahkan untuk memenuhi kebutuhan manusia secara bijaksana dan
bertanggung jawab yaitu untuk menghasilkan barang dan jasa yang penting bagi
masyarakat. Akan dihindari alokasi sumber daya ekonomi untuk hal-hal yang
merusak dan merugikan kehidupan masyarakat seperti produksi minuman keras,
narkoba, prostitusi, perjudian, bisnis pornografi dan pornoaksi, dsb. Sehingga
tidak timbul kekhawatiran akan nasib generasi manusia yang akan datang, karena
tiap individu melakukan aktivitas ekonomi dan pengelolaan sumber daya ekonomi
yang didasarkan pada kebutuhan (need) yang berlandaskan syariah Islam
bukan hanya sekedar mengikuti keinginan (want) yang tidak akan pernah
puas.
Selanjutnya bahwa
menurut mazhab Baqir As-Sadr persoalan pokok yang dihadapi oleh seluruh umat
manusia di dunia ini adalah masalah distribusi kekayaan yang tidak merata.
Bagaimana anugerah yang diberikan Allah SWT kepada seluruh makhluk termasuk
manusia ini bisa didistribusikan secara merata dan proporsional. Potensi sumber
daya ekonomi yang diciptakan Allah SWT di alam semesta ini begitu melimpah baik
yang ada di darat maupun di laut. Jika dikelola dengan baik dan bijaksana
niscaya semua individu di dunia dapat hidup secara layak dan manusiawi. Namun
fakta membuktikan bahwa tidak semua manusia dapat menikmati anugerah Allah
tersebut, sehingga masih banyak dari mereka yang hidup di bawah garis
kemiskinan sementara sebagian kecil lainnya bergelimang dalam kemewahan.
Menurut mazhab Baqir As-Sadr untuk mewujudkan hal tersebut maka ada beberapa
langkah yang dilakukan yaitu :
1. Mengganti istilah ilmu
ekonomi dengan istilah iqtishad yang mengandung arti bahwa selaras,
setara dan seimbang (in between).
2. Menyusun dan
merekonstruksi ilmu ekonomi tersendiri yang bersumber dari Al-quran dan Hadist.
C. Pemikiran Ekonomi Islam Mazhab
Mainstream
Mazhab mainstream
memiliki anggapan bahwa perbedaan utama antara ilmu ekonomi konvensional dengan
ekonomi islam adalah dalam hal cara mencapai tujuan. Mereka menyetujui tentang
pandangan konvensional bahwa masalah ekonomi muncul karena adanya keterbatasan
sumber daya ekonomi untuk memenuhi kebutuhan manusia yang tidak terbatas. Dengan tetap memberikan pandangan kritis
terhadap aspek – aspek normative dalam ilmu ekonomi, mahzab mainstream
memfokuskan pada cara mengelola sumber daya yang terbatas dan keinginan manusia
yang tidak terbatas.
Sesuai dengan namanya,
maka mazhab mainstream mendominasi khasanah pemikiran ekonomi islam dikarenakan
pemikiran mereka lebih moderat serta ide – ide mereka banyak ditampilkan dengan
cara – cara ekonomi konvensional sehingga lebih mudah diterima masyarakat.
Selain itu kebanyakan tokoh merupakan staf, peneliti, penasehat, atau
setidaknya memiliki jaringan erat dengan lembaga – lembaga regional dan
internasional yang telah mapan sehingga dapat mensosialisasikan gagasan ekonomi
dengan baik.
D. Pemikiran Ekonomi Islam Mazhab
Alternatif
Mahzhab alternative
mengajak umat islam untuk bersikap kritis tidak saja pada kapitalisme dan
sosialisme, tetapi juga terhadap ekonomi islam yang saat ini berkembang.
Terhadap pemikiran Baqir As sadr mereka mengkritik bahwa langkah mereka justru
tidak konstruktif dan esensial, sebab mereka berusaha menemukan sesuatu yang
baru yang seringkali sebenarnya sudah ditemukan oleh orang lain, menghancurkan
teori lama kemudian membangun teori baru. Demikian pula mazhab mainstream, ia
tidak lebih dari pada pemikiran neoklasik dengan beberapa modifikasi, seperti
menghilangkan riba, menambahkan zakat serta memperbaiki niat.
Pemikiran ekonomi islam
telah berkembang dengan pesat sejalan dengan upaya untuk implementasinya. Zarqa
telah mengklasifikasikan konstribusi pemikiran ekonomi islam yang berkembang
saat ini kedalam 4 kategori yaitu :
1. Mereka yang banyak menyumbang pemikiran dalam aspek normative system
ekonomi islam, menemukan prinsip-prinsip baru dalam sitem tersebut, atau
menjawan pertanyaan – pertanyaan modern mengenai system tersebut.
2. Menemukan asumsi –
asumsi dan pernyataan – pernyataan positif dalam Al Qur’an dan As sunnah yang
relevan bagi ilmu ekonomi.
3. Terdapatnya pernyataan
ekonomi positif yang dibuat oleh para pemikir ekonomi islam.
4. Analisis ekonomi dalam
bagian system ekonomi islam dan analisis konsekuensi pernyataan positif ekonomi
islam mengenai kehidupan ekonomi.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pemikiran ekonomi islam
adalah respon para pemikir muslim terhadap tantangan-tantangan ekonomi pada
masa mereka. Pemikiran ekonomi tersebut diilhami dan dipandu oleh ajaran
Al-quran sunnah, ijtihad (pemikiran) dan pengalaman empiris mereka. Objek
kajian dalam pemikiran ekonomi islam bukanlah ajaran tentang ekonomi, tetapi
pemikiran para ilmuan islam tentang ekonomi dalam sejarah atau bagaimana mereka
memahami ajaran Al-quran dan sunnah tentang ekonomi.
Perkembangan pemikiran
ekonomi Islam dapat di bagi dalam tiga fase utama, yaitu :
1. Fase Pertama/ Fondasi
(masa awal Islam)
Fase pertama ini
merupakan fase dari abad ke-5 hingga abad ke-11 masehi. Fase ini juga di kenal
sebagai fase dasar-dasar ekonomi Islam, banyak sarjana muslim yang pernah hidup
bersama para sahabat Rasulullah dan para tabi’in sehingga dapat memperoleh
referensi ajaran Islam yag autentik.
2. Fase
kedua
Fase ini dimulai pada
abad ke-11 sampai ke-15 M. Fese kedua ini disebut sebagai fase cemerlang
dikarenakan peninggalan warisan intelektual yang sangat kaya. Para cendekiawwan
di masa ini mampu menyusun suatu konsep tentang bagaimana kegiatan ekonomi yang
seharusnya berdasarkan pada Al-Qur’an dan Hadist.
3. Fase Ketiga
Fase ketiga dari
sejarah pemikiran ekonomi Islam adalah fase kemerosotan. Fase ketiga ini
dimulai pada tahun 1446 M hingga 1932 M. Salah satu penyebab kemerosotan pemikiran
ekonomi Islam pada waktu itu adalah asumsi yang mengatakan bahwa telah
tertutupnya pintu Ijtihad. Namun demikian masih terdapat gerakan pembaharu
selama dua abad terakhir yang menyeru untuk kembali kepada Al-Qur’an dan
Hadist.
DAFTAR PUSTAKA
Adiwarman, Azwar Karim,
Sejarah Pemikiran Ekonomi islam, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada,2006) ed 3.
Al-ghazali, Ihya Ulum Ad-din,
(Beirut: Dar An nadwah), juz 2
Arif Hoetoro, missing link dalam
sejarah pemikiran ekonomi, (Unibraw: BPFE, 2007).
Baqr As Shadr, Buku Induk
Ekonomi Islam Iqtishoduna, ( Jakarta: Ziyad, 2008)
Boedi Abdullah, Peradaban
Pemikiran Ekonomi Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2010).
Hulwati, Ekonomi Islam, (
Jakarta: Ciputat Press Group, 2009)
Ibnu njaim, Al-Asbah wa Al
Nazhair, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-ilmiah, 1980)
Mariyah Ulfah, Kapita Selekta
Ekonomi Islam Kontemporer, (Bandung: Alfabeta, 2010).
P3EI dan Bank Indonesia, Ekonomi
Islam, (Yogyakarta: PT Raja grafindo Persada, 2008).

Makalah Ekonomi Islam
Thanks sob
BalasHapus